Selasa, 20 September 2011

Outsider Wajib Baca: Rock-A-Bali (PART 2) by Alfred Pasifico Ginting

Rudolf Dethu begitu menyukai musik dan mengeksplorasi sejarah kreatif musisi. Beruntung dia pernah bekerja di kapal pesiar selama lima tahun sampai 1998. Setiap kali menyentuh daratan, Dethu menyambangi toko musik, mencari album yang tak pernah bisa dia dapatkan di Bali, terutama musik Punk Rock dan New Wave. Dia dibesarkan kedua aliran itu, Depeche Mode dan Dead Boys idolanya.


"Dari koleksi baru itu gua bikin kompilasi. Setiap lagu gua beri deskripsi, kirim ke teman-teman di Denpasar. Ternyata album itu menyebar, di-copy sana-sini. Setiap pulang gua diskusi dengan teman-teman tentang musik," kata Dethu.

Dethu berhenti kerja di kapal tahun 1998, ketika Punk Rock mewabah gara-gara Green Day. Suatu ketika dia dikenalkan dengan Jerinx. "Gua datang pakai scarf, baju beludru. Dia bilang 'gua pikir lu mohawk'. Dia pernah dengar kompilasi yang gua buat, dia pikir gaya gua Punk Rock." Dethu tertawa.

Dethu mendapat tawaran menjadi penyiar di sebuah radio. Di situ dia membuat program khusus, sebulan sekali dia memutar demo band-band lokal. Dethu sempat menolak tawaran Jerinx untuk menjadi manajer SID. Lalu Dethu berhenti sebagai penyiar.

Sembari bekerja di sebuah perusahaan garmen, Dethu merintis bisnis clothing-nya Suicide Glam. Nama yang berbahaya kalau melihat 'suicide' sebagai tindakan glamour. Modal awalnya Rp 20 juta, Dethu patungan dengan Made, yang kini lebih banyak menangani urusan desain. Tokonya meminjam ruangan di sebelah Twice Bar ketika masih berlokasi di pinggir jalan Legian. Benang merah desain produknya busana Punk Rock.

Ketika itu Dethu belum mengerti konsep busana Rockabilly, meski secara tak sadar dia sudah lama menyukainya. "Waktu balik gua bawa baju berkerah motif kulit macan, beli di Kanada. Pengalaman gua dengan busana Rockabilly itu yang pertama tapi belum disadari," kata dia.

Dua tahun bekerja di perusahaan garmen, Dethu mengundurkan diri. "Tahun 2002 gua datang ke SID. Gua tanya apa posisi manajer masih kosong. Mereka bilang silakan. Jadi mereka bisa lebih fokus ke musik gua yang ngurus propaganda."

Perkenalan Dethu dengan konsep busana Rockabilly berjalan alamiah. "Di sekitar Twice Bar banyak berseliweran orang-orang yang bergaya seperti Elvis. Merekalah orang California yang mempengaruhi kita. Secara artifisial kami mulai paham. Tapi pemahaman yang lebih teoritis belum," kata dia.

Bila dilakukan pelacakan dari dokumen yang tercecer, menurut Dethu, Jerinx lah yang pertama kali menggunakan simbol Rockabilly. "Di foto album Bad Bad Bad (tahun 2002), Jerinx sudah pakai simbol-simbol bola 8, buckle (gesper) Chevrolet. Tapi kita belum mendefinisikan itu sebagai Rockabilly."

Secara musikalitas, SID semakin akrab dengan warna musik Rockabilly, terlihat dari lirik lagu Vodkabilly dan Graveyard Blues dan pada album Kuta Rock City (2003). Ini album pertama SID sejak digandeng Sony Music Indonesia. Ketika itu dalam resensi-resensi di media, beberapa lagu SID digambarkan bernuansa "musik ala Amerika Utara".

Transformasi wacana terjadi dengan sendirinya ketika Twice Bar milik Jerinx menjadi semacam poros sebagian komunitas musik di Bali. "Pelan-pelan kita bikin baju dengan sablon bola 8 atau kartu remi. Akhirnya pemakaian simbol-simbol itu semakin intensif terjadi. Dan tahun 2004 gua mulai intensif mencari teori, literaturnya. Awalnya benang merah produk Suicide Glam Punk Rock 50 persen dan Las Vegas 50 persen. Lalu kita proklamirkan sebagai Glampunkabilly, basic tetap Rockabilly tapi dipadukan dengan glam dan Punk Rock," kata Dethu.

"Rockabilly kan sama sekali tidak glam?"

"Gua nggak milih Rockabilly murni karena asosiasinya dekat dengan hillbilly, bule-bule gunung seperti Elvis di tahun-tahun awal, atau redneck, yang rasis. Gua kurang suka. Gua lebih suka gaya hidup biker di Southern California, dimana suasana pantai tapi orang bergaya Rockabilly dengan motor chopper atau hot rod."

Di Bali, Dethu pun menggandeng afiliasi dengan penggemar motor chopper dan hot rod. "Anak-anak motor itu sekarang cari referensi musik Rockabilly ke sini. Dengan adanya club chopper berafiliasi, makin lengkap."

"Jadi mereka tidak Rolling Stones lagi?"

"Iya. Dulu karena ilmu pengetahuan masih kurang atau nggak mau eksplorasi, masih kebawa The Doors, Rolling Stones. Bukan soal salah benar. Tapi orang-orang chopper dan hot rod di Southern Calfornia itu Rockabilly abis."

Dethu rajin memberi nasehat busana bagi band yang baru meniti di jalan rockabilly. "The Hydrant itu awalnya gua lihat bawa musik Elvis lalu mereka naik ke Stray Cats. Awalnya mereka suka pakai baju kotak-kotak. Gua tanya ke mereka arahnya ke mana. 'Kalau Stray Cats, dandanan kalian salah persepsi. Ini buang, ini hillbilly bukan Rockabilly'," kata Dethu. "Sekarang mereka sudah bisa jalan sendiri."

Lewat senarai-senarai Dethu rajin melempar kabar apa saja tentang dinamika Rockabilly di Bali. Dia pun rajin menulis di media musik. Dia sering ditanggap jurnalis seputar tema musik lokal Bali. "Gua rajin mengekspose perkembangan Rockabilly. Kami proklamirkan duluan, meski belum banyak pelakunya, tapi fenomena ini layak diperhatikan," kata dia. "Memang gua ada hidden agenda untuk memasukkan Bali dalam peta musik Rock nasional."

"Kenapa ada obsesi seperti itu?"

"Selama ini musisi Bali tidak pernah dianggap dalam percaturan musik nasional. Ada Dewa Budjana tapi orang Bali tidak merasa dekat dengan dia karena dia lahir di Lombok dan besar di Surabaya. Sekarang sudah ada Balawan yang dianggap reprensetatif musik Bali. Mudah-mudahan ke depan akan semakin banyak."

"Dari yang sudah-sudah, tren yang terlalu banyak mendapat publisitas akan cepat menghilang. Tidak khawatir Rockabilly mengalami hal sama?" tanya saya.

"Biar saja menjadi tren, pada akhirnya akan tersaring mana yang serius dan mana yang bukan. Kayak Ska, dulu begitu banyak band Ska. Tapi ketika yang lain tumbang, sampai sekarang Shaggy Dog tetap produktif dan sangat diperhitungkan. Orang akan selalu ingat pionir akan di tempat khusus."

Dethu menganggap tren musik dan busana serupa, ada yang akan menjadi sejarah sementara yang lain terbawa lalu angin. "Beberapa tahun lalu ada temen ngetawain gua karena gua masih pakai Dr Martens sementara trennya boots Harley Davidson. Gua bilang, Harley baru bikin boots tahun 1990an, tapi Dr Martens itu punya sejarah, seperti Levi's 501," kata Dethu. "Yang kena tren pasti sekarang malu pakai Dr Martens."

Kini setiap bulan Suicide Glam bisa mengantongi omset Rp 60 juta, belum termasuk penghasilan dari ekspor. Sejak tiga tahun lalu Dethu menjalin jaringan pemasaran di Australia, Jerman, Swedia dan spanyol. Di WAArzburg, Jerman, Dethu mengizinkan mitranya membuka toko fashion memakai nama Suicide Glam. "Kalau mengandalkan pasar lokal gua nggak bisa hidup. Mereka yang odernya besar. Untuk brand lokal mungkin harga Suicide Glam tergolong mahal," kata Dethu.

Harga mahal, menurut Dethu, Cuma konsekwensi karena polah bisnisnya tidak ingin menjadi sweatshop, memeras tenaga karyawan dengan upah tidak setimpal. Suicide glam punya 15 karyawan. "Gaji mereka di atas rata-rata, uang makannya layak. Penghargaan itu yang membuat harga kami agak mahal. Kami nggak mau perang harga, nggak akan ada habisnya. Agak ngos-ngosan mempertahankan prinsip ini," kata dia.

"Apa yang membuat suicide Glam bertahan?" tanya saya.

"Banyak orang dari luar yang histeris melihat Suicide Glam. Mereka nggak menyangka ketika tiba di Bali ada subkultur seperti ini, harganya murah lagi. Itu terjadi rutin. Orang-orang yang terpukau ini yang bikin kita hidup," kata Dethu.

Selain di Poppies, sejak setengah tahun lewat Dethu membuka outlet sekaligus kantor Suicide Glam di daerah Renon, Denpasar. Renon termasuk kawasan elit, hampir semua kantor pemerintahan Bali berlokasi di sana. Secara bertahap Dethu ingin melengkapi outlet di Renon dengan perpustakaan. "Kami ingin membuat konsep yang homie, kalau nggak belanja orang bisa duduk baca buku dan minum bir. Pasar yang ingin kami bentuk adalah orang yang sadar busana tapi intelektual. Orang yang mandi dua kali sehari, bersih, sadar busana, suka baca, suka mabuk juga."

Semakin mengenal Dethu, saya jadi teringat pada sosok Malcolm McLaren, konseptor band punk fenomenal Sex Pistols, dalam derajat tertentu. McLaren pernah terpukau pada gerakan situationis internasional yang mempromosikan absurditas seni dan aksi provokatif untuk mendorong perubahan sosial. McLaren mengadopsi tradisi anti-art kaum situasionis dalam mempromosikan Sex Pistols. Dia menyarankan God Save the Queen menjadi judul album Sex Pistols dan menunda peluncurannya agar bertepatan dengan perayaan 60 tahun Ratu Elizabeth II pada Maret 1977. God Save The Queen dilarang dinyanyikan di seluruh Inggris Raya dan subkultur punk—bahkan hingga kini—mengalami tekanan budaya.

Bersama istrinya, Vivienne Westwood yang sampai kini dijuluki "The punk princess of fashion," McLaren mendandani Sex Pistols dengan baju penuh pin, pisau cukur, rantai sepeda atau rantai anjing. Juga dengan make-up berlebihan dan rambut berduri. Meski umur Sex Pistols tak panjang, McLaren peletak dasar attitude berpakaian sebagai syarat melambungkan grup musik.

"Banyak yang bilang Rudolf Dethu adalah Malcolm McLaren Melayu," saya bergurau.

Dethu tertawa. "Sebenarnya tidak dimulai seperti itu. Setelah jalan gua memang mempelajari McLaren. Gua memang suka busana, SID juga begitu. Tapi gua nggak mau ini semata fashion. Gua nggak bakal pakai baju Nike, atau bikin sepatu sport," kata Dethu.

Busana adalah hidup matimu. You are what you wear.

*Artikel ini pertama kali tayang di majalah Playboy Indonesia pada tahun, um, 2006 (?). Semua foto adalah milik Playboy Indonesia
Sebagaimana disadur dari Rockabali << Rudolf Dethu

0 cap cis cus:

Posting Komentar

Terima kasih untuk meninggalkan komentar Anda di artikel ini.. :)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More